Pelestarian Budaya Masyarakat Sumut: Merawat Warisan, Menjawab Tantangan Zaman.
Rabu, 02 Juli 2025
Jakarta.medanbintang//29 Juni 2025, Budaya bukan sekadar warisan nenek moyang, melainkan fondasi kehidupan berbangsa yang membentuk pola pikir, tata krama, dan etos kerja masyarakat. Di Sumatera Utara (Sumut), budaya menjadi denyut nadi yang menghidupkan keberagaman suku bangsa seperti Melayu Deli, Batak Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola, dan Nias.
Dalam forum resmi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak menyampaikan paparan bertajuk “Pelestarian Budaya Masyarakat Sumut”, menyoroti kekayaan budaya lokal yang menghadapi tantangan serius akibat arus modernisasi dan globalisasi.
Kebudayaan sebagai Sistem Kehidupan
Menurut Prof. Payaman, budaya adalah sistem peradaban masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai kehidupan dalam bentuk adat istiadat, seni, bahasa, dan tulisan.
“Budaya bukan sekadar simbol, tapi sistem nilai yang mempengaruhi sikap hidup dan kerja masyarakat,” ungkapnya dalam paparannya di Jakarta, 26 Juni 2025.
Masyarakat Sumut memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, mulai dari kemiripan nilai dalam budaya Melayu-Deli yang lekat dengan ajaran Islam, hingga struktur sosial khas suku Batak melalui sistem Dalihan Na Tolu (DNT) yang masih dijunjung tinggi di Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola, hingga Nias.
Dalihan Na Tolu: Pilar Sosial Budaya Batak, Dalihan Na Tolu adalah sistem hubungan sosial khas masyarakat Batak yang terdiri dari tiga kelompok: dongan tubu (kerabat semarga), boru (keluarga perempuan), dan hula-hula (keluarga dari pihak ibu).
Hubungan ini diikat oleh prinsip manat (koordinatif), elek (persuasif), dan somba (hormat) yang menjadi panduan dalam pergaulan dan pengambilan keputusan adat.
“Dalam DNT, setiap individu tahu posisi dan kewajibannya. Ini penting untuk menjaga harmoni sosial dan membangun kepercayaan dalam komunitas,” jelas Prof. Payaman.
Krisis Budaya di Era Modern
Sayangnya, arus modernisasi membawa ancaman serius terhadap pelestarian budaya.
Bahasa ibu ditinggalkan, adat dianggap usang, dan kesenian tradisional kehilangan daya tarik di mata generasi muda.
“Banyak generasi muda yang tak bisa lagi berbahasa daerah, apalagi memahami struktur adat dan nilai-nilai luhur yang diwariskan,” ungkap Prof. Payaman dengan nada prihatin
Perkawinan antar suku, migrasi ke kota besar, hingga dominasi budaya global ikut mempercepat terputusnya rantai pewarisan budaya.
Solusi: Pelestarian Melalui Pendidikan dan Keterlibatan Generasi Muda
Sebagai solusi, Prof. Payaman menyarankan pengajaran bahasa dan budaya lokal mulai dari tingkat SD hingga SMA, khususnya di wilayah Tapanuli, Simalungun, Karo, Pakpak, dan Nias.
“Pendidikan formal harus menjadi garda terdepan pelestarian budaya. Kalau tidak, kita akan kehilangan jati diri,” tegasnya
Tak kalah penting, peran komunitas seperti persatuan marga dan organisasi adat perlu diperkuat untuk mengajarkan kembali nilai-nilai leluhur, terutama di daerah diaspora. Generasi muda juga didorong untuk aktif dalam pesta adat dan kegiatan seni budaya seperti tari, musik, dan penggunaan ulos – kain tenun khas Batak yang penuh makna simbolik.
Merawat Identitas, Membangun Masa Depan, Budaya bukanlah beban masa lalu, melainkan kekuatan masa depan.
Melalui pelestarian budaya, masyarakat tidak hanya mempertahankan identitas, tetapi juga membangun fondasi moral dan sosial untuk generasi mendatang.
“Kalau kita kehilangan budaya, kita kehilangan arah sebagai bangsa,” pungkas Prof. Payaman, menutup presentasinya dengan ajakan reflektif kepada seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, tokoh adat, pendidik, hingga orang tua
Pelestarian budaya masyarakat Sumut bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Butuh sinergi lintas generasi dan sektor untuk merawat akar budaya agar tidak tercerabut oleh zaman.
Saatnya budaya tidak hanya disimpan di museum, tetapi dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari, demikan Prof.Payaman menutup paparan presentasinya kepada peserta Seminar dan resume awak media. (ms2).